Hit the gas and there's ain't no brake on this lost highway . . . . .

Senin, 07 November 2011

Dinamika Minyak Goreng dalam Perekonomian

Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung, kedelai, dan kanola. Minyak goreng umumnya berasal dari minyak kelapa sawit. Minyak kelapa dapat digunakan untuk menggoreng karena struktur minyaknya yang memiliki ikatan rangkap sehingga minyaknya termasuk lemak tak jenuh yang sifatnya stabil. Selain itu pada minyak kelapa terdapat asam lemak esensial yang tidak dapat disintesis oleh tubuh. Asam lemak tersebut adalah asam palmitat, stearat, oleat, dan linoleat.
Oleh karena begitu pentingnya minyak goreng bagi kepentingan orang banyak, maka perlu kita ketahui bagaimana peran pemerintah untuk mengendalikan harga minyak goreng sehingga tetap dapat terjangkau masyarakat luas, serta potensi pasar dalam usaha industri minyak goreng hingga perkembangan produksi dan konsumsi minyak goreng Indonesia.

       I.            Usaha Pemerintah Menstabilkan Harga Minyak Goreng
Stabilisasi harga barang-barang kebutuhan pokok termasuk di dalamnya minyak goreng merupakan salah satu  dari sekian rupa program kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung dilakukan dalam upaya menjaga standar kelayakan hidup masyarakat. Produk minyak goreng menjadi salah satu barang yang penting untuk dikendalikan pemerintah karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak (yang masih menggunakan minyak goreng sebagai mediasi pengolahan hampir sebagian besar makanan yang dikonsumsinya).
            Pada tahun  2007, , terjadi fenomena terkait adanya gejolak harga bahan baku  minyak goreng, yakni CPO (Crude Palm Oil), secara faktual mempengaruhi terjadinya gejolak harga minyak goreng di pasar domestik. Melambungnya harga CPO dari kisaran  harga US$ 600/ton pada bulan Februari 2007 menjadi US$ 1.300/ton pada minggu I bulan Maret 2008 menjadi alasan logis yang menjelaskan melambungnya harga minyak goreng sawit di pasar domestik ketika itu dari kisaran harga Rp 7.000/kg pada bulan Februari 2007 menjadi Rp 12.900,- per kg pada bulan Maret 2008. Dugaan adanya spekulasi berupa penimbunan minyak goreng pun mencuat. Namun, dugaan itu dibantah pemerintah.
            Untuk memenuhi pasokan kebutuhan dalam negeri, pemerintah telah mengeluarkan imbauan untuk menyetop sementara atau mengurangi ekspor bahan baku  minyak goreng curah dan lebih mengutamakan  pasokan ke pabrik minyak goring untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.Kalau  ternyata tetap melakukan ekspor, pemerintah akan memaksa dengan menempuh langkah menaikkan pajak ekspor. Sehingga, mau  tidak mau para pemasok bahan baku ke pabrik minyak goreng memprioritaskan pasokan ke pabrik minyak goreng curah untuk kebutuhan dalam negeri. Pembatasan ekspor merupakan salah satu strategi agar pabrik minyak goreng bisa berproduksi normal lagi. Dengan normalnya produksi, maka distribusi  ke pasar  melalui distributor dan  pengecer bisa lancar. Imbauan larangan ekspor sementara atau pembatasan ekspor CPO, juga diikuti dengan program  operasi  pasar. Dengan  langkah – langkah tersebut, harga minyak goreng pun dapat dikendalikan oleh pemerintah.

Berikut grafik perkembangan harga minyak goreng nasional sejak tanggal 8 Oktober 2011 sampai dengan 7 November 2011

Dari grafik tersebut harga minyak goreng terlihat tidak berfluktuasi terlalu tajam, cenderung lebih  stabil.

       II.            Potensi Pasar Minyak Goreng
Kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan  penduduk. Jumlah penduduk di daerah asia dan timur jauh telah mencapai 3,2 milyar atau  meliputi 50% penduduk dunia (Pahan, Iyung. 2006). Dari sisi konsumsi minyak goreng, kawasan asia masih memiliki tingkat konsumsi di bawah rata-rata konsumsi dunia, dan sejalan dengan tingkat kemakmuran yang akan terus meningkat di wilayah  ini, maka konsumsi minyak goreng  juga akan terus tumbuh. Hal ini menunjukkan potensi pasar yang besar untuk minyak goreng sawit.Dari sisi geo strategis, terlihat bahwa pasar China dan India dengan jumlah penduduk yang besar merupakan  pasar yang harus dimaksimalkan oleh produksi minyak goreng sawit Indonesia. Kedekatan  jarak merupakan nilai tambah bagi Indonesia. Oleh sebab itu, memaksimalkan pasar China dan India jelas lebih menguntungkan ketimbang menjual produksi ke wilayah Eropa atau Amerika yang mempunyai jangkauan  jarak  yang lebih jauh sehingga akan memerlukan biaya angkut yang lebih tinggi.


Dari gambar diatas, presentase penyebaran pabrik minyak goreng di Indonesia adalah sebagai berikut :
a.       Sumatera Utara           30.46 %
b.      Riau                             24.83 %
c.       DKI Jakarta                13.01 %
d.      Jawa Timur                  9.62 %
e.       Sumatera Selatan        7.18 %
f.       Sulawesi Utara            5.28 %
g.      Jawa Barat                  3.38 %
h.      Sumatera Barat           1.97 %
i.        Lampung                     1.74 %
j.        Sulawesi Tengah         0.70 %
k.      Kalimantan Barat        0.64 %
l.        Jambi                           0.59 %
m.    Jawa Tengah               0.59 %

Berdasarkan tabulasi data dapat diinformasikan bahwa pabrik minyak goreng di Indonesia telah berkembang di 13 propinsi. Wilayah terluas terdapat di Sumatera, diikuti Jawa, Sulawesi dan Kalimantan. Lima propinsi terluas berturut-turut adalah Sumatera Utara (30.46%), Riau (24.83%),  DKI Jakarta (13.01%), Jawa Timur (9.62%) dan Sumatera Selatan (7.18%).
Dengan luasnya perkembangan pabrik minyak goreng serta berlimpahnya sumber bahan baku minyak goreng di Indonesia, sangat diharapkan industri minyak goreng di Indonesia dapat terus memperluas pasarnya hingga keluar negeri.

       III.      Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng
Perbandingan produksi dan konsumsi  minyak goreng sawit di Indonesia disajikan dalam tabel berikut:

Dari tabel diatas terlihat bahwa Indonesia surplus produksi minyak goreng, dimana konsumsi domestik telah terpenuhi dari industri minyak goreng dalam  negeri, sisanya, diekspor ke negara lain.


Sumber:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar